Education Center Tempat Berbagi Ilmu

6.18.2010

Makalah KWN

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sebagai bagian dari warga negara, perempuan Indonesia mempunyai hak untuk mendapatkan akses maupun berpartisipasi dalam kekuasaan (politik)dari pengambilan keputusan, termasuk hak untuk memilih dan dipilih, atau memegang posisi penting di semua tingkatan pemerintahan. Hak ini dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 dan Pasal 28, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dengan bab khusus tentang Hak-hak Perempuan, serta diperkuat oleh DeklarasiPBB mengenai Hak Asasi Manusia, Konvensi PBB tentang Hak-hak Politik Perempuan (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan (The Convention on Political Rights for Women) dan Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita).
Oleh karena itu, perempuan perlu mengaktualisasikan dirinya dengan berpartisipasi dalam lembaga-lembaga politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif)maupun dalam kehidupan publik. Perempuan perlu menempati posisi dalam lembaga politik agar dapat terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan, karena kebijakan dan program yang disusun juga akan berlaku bagi perempuan. Semua kebijakan publik yang dikeluarkan oleh lembaga politik pada akhirnya akan menjangkau semua aspek kehidupan semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan.

RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian gender itu?
2. Bagaimanakah kedudukan wanita di dalam bidang politik di negara indonesia?
3. Mengapa timbul ketidak setaraan gender di masyarakat?
4. Mengapa perempuan harus terlibat di bidang politik?
5. Adakah UU yang mengatur tentang penghapusan segala bentuk deskriminasi terhadap perempuan?
6. Bagaimana pandangan islam terhadap anggapan bahwa seorang pemimpin harus seorang laki-laki?
7. Mengapa peran dan partisipasi perempuan dalam politik diperlukan?
8. Mengapa harus ada pro dan kontra jika perempuan terlibat dibidang politik?

TUJUAN
1. Untuk memahami apa itu pengertian gender.
2. Untuk mengetahui kedudukan perempuan diindonesia dalam bidang politik.
3. Untuk memahami kenapa sampai muncul ketidak setaraan gender.
4. Untuk mengetahui alasan pentingnya mengappa perempuan harus terlibat di bidang politik.
5. Untuk mengetahui undang- undang yang mengatur tentang penghapusan segala bentuk deskriminasi terhadap perempuan.
6. Untuk mengetahui pemimpin perempuan jika dilihat dari pandangan islam.
7. Untuk memahami mengapa peran dan partisipasi perempuan dalam politik itu diperlukan.
8. Untuk mengetahui kenapa ada pro dan kontra jika perempuan terlibat di dalam
9. Lembaga eksekutif, legistatif, dan yudikatif.


BAB II
PEMBAHASAN

PENGERTIAN GENDER
Lebih diartikan kepada jenis kelamin, dimana meliputi jenis kelamin laki- laki dan perempuan.
KESETARAAN GENDER DIINDONESIA
Pada prinsipnya semua orang setuju bahwa bentuk pemerintahan yang demokratis merupakan bentuk yang paling ideal dan didambakan oleh rakyat. Kata demokrasi sendiri dapat diartikan sebagai sebuah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.Dengan kata lain, rakyatlah yang memegang wewenang tertinggi dalam proses
pemerintahan. Para pemimpin merupakan pemegang mandat yang harus tunduk kepada suara rakyat melalui wakil-wakil mereka yang duduk dalam kursi kepemimpinan. Sebuah masyarakat dapat dikatakan demokratis jika dalam peri kehidupannya.menghargai hak asasi manusia secara adil dan setara, mengakui dan memajukan akan kebebasan. Dalam penghargaan terhadap hak yang adil dan setara tersebut tercermin adanya penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya terhadap kelompok-kelompok minoritas.
Hal ini juga mencakup adanya jaminan partisipasi politik bagi semua warga. Partisipasi dalam sistem politik merupakan tugas yang kompleks dan menantang, khususnya bagi sektor-sektor masyarakat yang secara tradisional terpinggirkan. Perempuan mewakili salah satu kelompok yang dirugikan sebagai akibat dari peran-peran yang diterjemahkan secara sosial dan budaya dan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam ranah-ranah produktif, reproduktif dan politik.

.
Perempuan juga harus terlibat dalam politik karena adanya faktor-faktor yang saling berkaitan berikut ini:
(1)Sebuah pemerintahan oleh laki-laki untuk laki-laki tidak dapat mengklaim menjadi sebuah pemerintahan oleh rakyat untuk rakyat (a government by men for men can’t claim to be a government for the people by the people);
(2)Perempuan pada dasarnya adalah pelaku politik yang lebih bisa memahami kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri dengan lebih baik. Padahal, selama ini umumnya segala keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan isu-isu dan persoalan-persoalan perempuan selalu menjadi agenda politik laki-laki
(3)Perempuan membawa gaya dan nilai politik yang berbeda (women bring a different style and values to politics).melaksanakan fungsi Secara internasional, hak perempuan untuk berpolitik dijamin dalam Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW). Konvensi ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau lebih dikenal dengan Konperensi Perempuan pada tanggal 24 Juli 1984. Sebelumnya Pemerintah Indonesia telah menandatangani konperensi tersebut pada tanggal 29 Juli 1980 pada saat mengikuti Konperensi Perempuan se-Dunia ke II di Kopenhagen.
Hak perempuan dalam kehidupan politik diatur dalam Pasal 7 Konperensi CEDAW, yang menyatakan kewajiban negara untuk menjamin bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk:

Berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan pemerintahan di semua tingkat;
Perempuan harus memperjuangkan dengan keras hak sipil, politik, sosial, ekonomi dan budaya. Mayoritas masyarakat selalu menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua, bahkan cenderung tidak memiliki status dalam masyarakat. Seperti yang ditulis oleh Virginia Woolf dalam A Room of One’s Own, tentang kesadaran adanya pemisahan dunia publik dan domestik bagi perempuan. Perempuan tidak memiliki akses ke dalam dunia publik, sementara di lingkup domestik perempuan juga tidak memiliki kekuasaan memutuskan atau hak atas milik.
Hal ini tercermin dalam sistem tradisional yang diwakili oleh institusi dominan, mulai dari pendidikan, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan yang sangat patriarki sehingga membatasi dan mengeluarkan perempuan dari segala aspek kegiatan publik. Melalui institusi-institusi tersebut keluar kebijakan-kebijakan bagi semua warga termasuk perempuan. Tentu saja kebijakan-kebijakan tersebut sangat bias laki-laki karena yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan semata-mata hanya laki-laki, yang diandaikan sebagai kepala keluarga yang berarti adalah representasi keluarga, meskipun hal itu berkaitan dengan aspek kehidupan perempuan. Melalui kebijakan yang maskulin inilah dominasi laki-laki menjadi semakin sah.
Dominasi tersebut seringkali dibungkus dengan nilai-nilai sosial, perangkat hukum, pertimbangan kesehatan, bahkan dengan simbol-simbol agama dan budaya. Hal yang paling sering dikemukakan adalah masalah kontrasepsi. Bagi sebuah negara,
keberhasilan dalam pengendalian laju populasi dapat dilihat dalam penggunaan alat kontrasepsi yang notabene penggunanya adalah perempuan. Sementara masalah kontrasepsi dan teknologi reproduksi sepenuhnya berada di bawah kendali laki-laki. Artinya,persoalan-persoalan seperti keputusan atau pilihan pemakaian alat kontrasepsi, jenisnya dan juga waktu pemakaiannya seringkali di luar keputusan perempuan itu sendiri. Bahkan perempuan cenderung tidak diberi kesempatan untuk memperoleh informasi yang benar dan obyektif tentang masalah kontrasepsi dan sistem reproduksinya.
Institusi struktural kekuasaan yang paling tinggi adalah negara, yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dan berpengaruh terhadap kehidupan perempuan. Negara sebagai sebuah wilayah dengan struktur ekonomi, sosial, politik dan budaya, merupakan sebuah kompleksitas kekuasaan yang dominan dan menjadi pusat otoritas di tingkat publik. Idealnya, negara dengan kekuasaan tertinggi yang dimiliki mampu menjadi tempat perlindungan bagi perempuan dalam memperoleh keadilan. Tetapi kenyataannya dalam banyak kasus, negara justru semakin membuat posisi perempuan makin terjepit dan mengorbankan korban [victimized the victim]. Dalam kondisi krisis, korban yang paling parah menderita adalah perempuan dan anak. Tetapi kondisi tersebut tidak menjadikan isu perempuan menjadi sesuatu yang diangap vital.
Sebagai warganegara, perempuan mempunyai hak politik yang sama dengan laki-laki.Kualitas perempuan seringkali dipandang rendah dibandingkan laki-laki.Partai politik yang menentukan calon, bukan pemilih.Pengalaman perempuan berbeda dari laki-laki. Sementara yang menentang kuota memberikan argumen mereka sebagai berikut:
• Sistem kuota dianggap tidak demokratis karena perempuan dianggap tidak
terpilih sehingga tidak representatif.
• Sistem kuota justru melecehkan perempuan karena secara tidak langsung
menganggap perempuan tidak layak atau tidak mampu menduduki posisi
tersebut, sehingga harus dibantu;
• Perempuan yang terpilih melalui sistem kuota hanya dianggap sebagai simbol,
sehingga posisinya tidak akan membawa perubahan nyata;
• Sistem kuota berlawanan dengan prinsip kesempatan yang sama bagi semua,
karena perempuan mendapat prioritas;
• Memberlakukan kuota akan menimbulkan konflik dalam organisasi. Kuota menyiratkan politisi dipilih berdasarkan gender mereka dan bukan karena kualitas.
Selain argumen-argumen yang pro dan kontra tersebut juga terdapat beberapa kendala yang ikut mempengaruhi terhambatnya partisipasi perempuan dalam ranah politik.
Pertama, faktor sosial politik. Partai politik merupakan faktor esensial dalam meningkatkan partisipasi perempuan untuk menempati posisi publik. Selain itu jenis sistem pemilu ikut memberikan andil dalam menentukan dapat tidaknya perempuan. Duduk sebagai anggota legislatif. diskriminatif gender sehingga cenderung didominasi oleh laki-laki.
Kedua, faktor sosial budaya. Perempuan selama ini selalu menempatkan/ditempatkan dalam ruang domestik sementara ruang publik merupakan daerah kekuasaan laki-laki. Tetapi jika ada perempuan yang merambah ruang publik maka dia akan dibebankan dengan peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan wanita karir. Selain itu persoalan kurang meratanya pendidikan menjadi kendala dalam proses keadilan gender.
Ketiga, faktor sosial ekonomi. Pada dasarnya pembangunan ekonomi dan politik tidak berjalan seiring dengan kepentingan perempuan. Persoalan kemiskinan menjadi penghalang besar yang membuat perempuan menjadi korban ganda. Himpitan kemiskinan membuat perempuan tidak mempunyai waktu dan kesempatan untuk berpolitik.
Dengan masuknya perempuan dalam ranah politik [publik] diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap produk-produk kebijakan yang dihasilkan, khususnya yang berkaitan langsung dengan kehidupan perempuan. Apalagi pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi yang berkaitan dengan partisipasi politik perempuan, yaitu

Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan
Artinya pemerintah Indonesia wajib untuk melaksanakan setiap bagian dan pasal konvensi tersebut secara maksimal. Karena pada dasarnya hak politik perempuan dalam arti luas adalah bagian integral dan tidak dapat dipisahkan dari hak azasi manusia, dan sebaliknya, hak asasi manusia merupakan aspek fundamental dari berbagai kerangka kerja demokratik.
Menurut Ery Seda, ada anggapan bahwa mekanisme kuota ini adalah proses belas kasihan. Persoalan paling berat adalah ketidakpedulian orang yang menganggap isu perempuan adalah hal yang sepele dan tidak strategis. Kedua adalah budaya patriarki yang masih kuat di kalangan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan.
Kondisi sosial politik belum sepenuhnya memungkinkan partisipasi perempuan secara utuh dalam parlemen. Peran serta perempuan dalam kancah politik baru sebatas wacana. Masih kuatnya nilai-nilai tradisional dan agama yang menghambat kiprah perempuan tampil dalam kehidupan publik, khususnya sebagai pemimpin. Di banyak negara termasuk Indonesia, terdapat persoalan dalam masalah peran dan posisi gender antara laki-laki dan perempuan. Selama ini jika kita bicara masalah politik maka sudah hampir dipastikan bahwa yang dimaksud adalah dunia publik yang penghuninya adalah laki-laki. Hal ini berarti pada saat yang bersamaan kita sudah mendiskualifikasi perempuan untuk terlibat di dalamnya. Seperti yang diungkapkan oleh Lies Marcoes mengenai fatwa anti pemimpin perempuan yang dikeluarkan seorang ulama di Jawa Timur menyikapi pencalonan Megawati menjadi Presiden untuk periode 2004 - 2009. Fatwa ini merupakan yang kedua kalinya terdengar .
Setelah Orde Baru jatuh berkaitan dengan majunya calon perempuan menjadi orang nomor satu di Indonesia. Pada titik inilah terjadi diskriminasi politik terhadap perempuan di dalam kehidupan demokrasi. Konsep-konsep seperti kompetisi, partisipasi politik dan kebebasan sipil dan politik dalam politik nyata ternyata hanya sebatas dunia laki-laki [maskulin]. Tetapi jika ada perempuan yang terlibat di sana, maka mereka pun harus masuk dan berperilaku sebagai laki-laki. Nilai-nilai tradisional yang mengakar begitu kuat merupakan hambatan yang paling mendasar dalam pemberdayaan perempuan, khususnya dalam masalah partisipasi politik dan kepemimpinan politik.
PEREMPUAN SEBAGAI PEMIMPIN JIKA DILIHAT DARI SEGI AGAMA
Sering kali kita pro kontra jika perempuan menjadi pemimpin. Seolah- olah dalam segi agama(terutama agama islam)yang berhak menjadi pemimpin adalah seorang laki – laki. Dimana telah dijelaskan bahwa perempuan itu telahir dari tulang rusuk seorang laki – laki. Dikisahkan oleh cerita terciptanya ibu hawa yang berasal dari tulang rusuk kiri nabi adam. Dalam hal ini bukan berarti seorang permpuan selalu dibawah kekuasan kaum laki-laki. Tuhan memberikan makna kenapa perempuan diambil dari Tukang rusuk bagian kiri. Karena posisi nya yang berada di tengah maka wanita itu tidak berhak mengungguli kedudukan seorang laki- laki, tetapi tidak juga diinjak- injak martabatnya oleh kaum perempuan melainkan tugas seorang laki- laki adalah melindungi dan mengayomi bagi kaum perempuan.Sehingga dalam segi agama yang layak dalam memimpin adalah seorang laki- laki.
Tapi Jika dikaitkan dengan pemerintahan diindonesia yang merupakan negara demokratis sangat disayangkan jika dalam hal kepemimpinan yang berhak adalah kaum laki- laki saja. Karena indonesia adalah negara demokrasi bukan negara islam. Dimana setiap warga negara indonesia punya kesempatan yang sama untuk menjadi seorang pemimpin,negara asalkan dia memiliki syarat – syarat tertentu untuk bisa menjadi seorang pemimpin yang bertanggung jawab.
Khusus untuk kelompok perempuan Muslim moderat, gerakan perempuan yang dilakukan pada masa-masa ini lebih banyak mengangkat isu-isu khusus, seperti pendidikan hak-hak reproduksi perempuan, upaya pencegahan trafiking (perdagangan perempuan), perlindungan terhadap hak-hak buruh migran, seksualitas perempuan, aborsi, dan lain-lain. Hal ini terlihat pada berbagai program yang dilakukan oleh Pimpinan Fatayat NU, Fahmina di Cirebon, Rahima di Jakarta, dan lain-lain.
Kendati gerakan perempuan secara umum dan perempuan Islam secara khusus mendapatkan ruang yang cukup signifikan pada masa-masa ini, penolakan yang sangat kuat pun terjadi pada isu-isu yang dikembangkan oleh gerakan perempuan. Penolakan itu misalnya dari organisasi Wanita Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI) yang pernah melakukan aksi unjuk rasa pada Hari Ibu 22 Desember 2006 dengan membawa poster yang berisikan kata-kata penolakan terhadap konsep-konsep kesetaraan gender. Penolakan ini didasarkan pada argumentasi bahwa kesetaraan gender merupakan misi liberalisasi yang hendak disebarkan kepada muslim perempuan di seluruh dunia termasuk Indonesia.

KEPEKAAN GENDER DALAM POLITIK INDONESIA
Ketika serial diskusi amandemen UUD 1945 yang diselenggarakan Koalisi Perempuan di Jakarta antara tahun 1999–2000, upaya memperjuangkan masuknya ketentuan HAM secara lebih lengkap dalam UUD 1945 yang sedang diamendemen, termasuk mengenai hak afirmatif yang sekarang terpatri dalam Pasal 28H UUD 1945. Prosesnya sangat dinamis untuk memasukkan pasal ini. Kebetulan waktu itu (1999–2001) adalah anggota PAH I Badan Pekerja MPR yang bertugas mengamendemen UUD 1945. Mampu dihadirkannya pasal tersebut sebenarnya menggambarkan kerja sama yang baik dengan komponen masyarakat sipil dalam memperjuangkan isu-isu strategis demokratisasi. Menggelar forum hearing,mengundang dan menerima masukan dari masyarakat mengenai materi amendemen.
Kebetulan salah satu pokok bahasan pada masa perubahan kedua UUD 1945 adalah HAM.Yang menjadi fokus perjuangan utama teman-teman aktivis perempuan adalah materi hak asasi perempuan dan hak asasi anak. Hampir saja usaha itu tidak berhasil. Sebab pada waktu itu— pada tahap proses sinkronisasi— sebagian anggota yang laki-laki mempertanyakan untuk apa gunanya pasal tersebut, toh sudah ada payung lain yang dapat digunakan, yaitu Pasal 28I ayat (2) Pasal itu menyebutkan: “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif .” waktu itu perlu diyakinkan bahwa pasal itu sangat penting dan mendasar untuk memajukan perempuan dan kelompok masyarakat lain yang tertinggal secara sosial dan ekonomi. Karenanya tuntutan utama kelompok perempuan ini kalau tidak direspons akan menurunkan dukungan atas proses perubahan UUD 1945 yang sedang berlangsung.
Masyarakat, khususnya perempuan, bersyukur dan berbahagia karena dengan pasal tersebut. Mereka memiliki payung konstitusional dalam memperjuangkan hak-hak politiknya.Termasuk disini masalah dalam bentuk kuota 30% perempuan di parlemen.
Perjuangan itu sebenarnya telah membuahkan hasil yang agak lumayan ketika berhasil memasukkan kuota 30% perempuan dalam UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No 10 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2008. Namun, keputusan MK 23 Desember 2008 lalu yang menetapkan calon terpilih dengan suara terbanyak telah menimbulkan reaksi keras. Sebab keputusan MK itu oleh aktivis perempuan dianggap tidak beperspektif gender dan membuyarkan perjuangan keras bertahun-tahun untuk memperoleh akses dan kesempatan yang sama dalam pengisian kursi parlemen (DPR).
Kuota perempuan yang diperjuangkan 10 tahun terakhir tiba-tiba kehilangan maknanya.Penentuan calon tidaklah berdasarkan daftar urut lagi atau dengan kuota 30% atas BPP (bilangan pembagi pemilih),tapi dengan suara terbanyak. Keputusan MK itu dianggap telah mengubah konstruksi UU Pemilu yang disusun dengan disain sistem pemilu propesional semi terbuka sehingga memungkinkan masuknya affirmative action pada Pasal 55 ayat (2) mengenai pencalonan.
Di situ dikatakan bahwa setiap 3 (tiga) bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Tidaklah mengherankan kemudian—dan jangan dipersalahkan—apabila perempuan menuntut kuota 30% tetap diberlakukan.Mereka menuntut dari setiap 3 calon terpilih di satu daerah pemilihan (dapil), 1 (satu) adalah perempuan. Hal ini menimbulkan pro-kontra tidak hanya di antara sesama kelompok perempuan,tapi juga dari kelompok laki-laki.Tampaknya masih tidak mudah untuk memasukkan perspektif gender dalam setiap perumusan kebijakan publik. Oleh karena itu pencerahan mengenai perspektif gender perlu terus-menerus dilakukan kepada semua komponen bangsa. Keputusan MK tersebut telah menegaskan sistem pemilu yang digunakan adalah proporsional daftar calon terbuka murni, tidak lagi semiterbuka. Oleh karena itu, perjuangan perempuan ke depan mesti diubah dengan menuntut 30% perolehan kursi di parlemen pada Pemilu 2014.Pasti bukan perjuangan yang mudah. Resistensinya kemungkinan akan tinggi.
Yang jelas, masyarakat sungguh prihatin dengan sikap sebagian fraksi DPR kita. Proses legislasi di DPR lebih banyak diwarnai pertimbangan jangka pendek daripada membangun sistem jangka panjang.
Ada sebagian fraksi di DPR yang dulu tidak menginginkan suara terbanyak tapi sekarang berbalik setelah UU Pemilu ditetapkan. Selama hitungannya adalah semata kekuasaan belaka, sulit bagi kita membangun sistem yang lebih baik.(*)




BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Perempuan yang berjumlah lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia juga mempunyai hak untuk didengar dan mendapatkan manfaat dari proses pembangunan.Walaupun perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, namun partisipasi perempuan dalam kegiatan politik serta kesempatan dan kemampuan untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan menunjukkan peningkatan yang sangat lambat.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Di lembaga legislatif, keterwakilan perempuan dalam parlemen berada pada peringkat ke189 negara.
SARAN
Saya menyadari masih banyak kekurangan, baik dari segi penulisan maupun materi yang saya sajikan. Untuk itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga dengan hasil karya yang sederhana ini dapat memberikan manfaat yang besar khusunya bagi penyusun dan pembaca pada umumnya. AMIN.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber: Harian Seputar Indonesia, Kamis 29 Januari 2009
Lucas, Anton E. 1996. Wanita dalam Revolusi: Pengalaman Selama Pendudukan dan Revolusi, 1942-1950. Jurnal Prisma, No.5

Suryakusuma, Julia. Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Indonesia Orde Baru (ringkasan tesis)
Dikutip dari www.hizbuttahrir.com, 19 Desember 2009
Eleonara Wieringa, Saskia. 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (diterjemahkan dari The Politization of Gender Relation in Indonesia). Jakarta: Garba Budaya dan Kalyanamitra. h. 76
Dikutip dari Karakter Islam Indonesia, makalah dari Marzuki Wahid (Peneliti Fahmina Institute Cirebon), narasumber pada Workshop Islam dan Pluralisme V di Kantor The WAHID Institute Jl. Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman Jakarta, Jum’at (25/01/2008) malam









Share:

0 comments:

Posting Komentar

Masukan Komentar Anda Disini Kritik Dan Saran ANDA Sangat Berharga Bagi Blog Ini,Komentar Bernada SPAM Akan Saya Hapus, Terima Kasih Buat Yang Udah Komentar.

Archive

Followers

CONVERT SCRIPT

Labels

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support